Waspadai Jejak Digital di Media

Lahirnya teknologi web 2.0 membuat interaksi antar user menjadi semakin di permudah.  Bahasa awamnya, bisa memberi komentar di lapak orang.   Teknologi Web 2.0 ini adalah perkembangan yang evolusioner dimulai dari BBS (Bulletin Board System) di mana ada message board untuk berinteraksi, kemudian perkembangan email sehinggal lahirlah email groups - email groups yang menjamur.  Sampai akhirnya lahir forum-forum  yang konon menjadi marak karena menjadi tempat bertukar barang haram (gambar mesum, video porno, software cracker,dll.)
Twitter dan Facebook di gandakan dengan faktor teknologi mobile phone  berakibat perkembang-biakan pengguna internet di Indonesia yang eksponensial.  Inilah yang disebut fenomena leap frog (lompatan katak) dalam dunia teknologi. Istilah yang pernah di gunakan Habibie ketika dia masih menjadi menristek dan bergumul dengan Nurtanio yang sayangnya kataknya tidak sampai melompat dalam kasus Habibie.
Secara sosial budaya, fenomena lompatan katak ini akhirnya memperlihatkan wajah bangsa ini yang asli. Hal ini sebabkan karena pengguna-pengguna baru internet Indonesia belum siap, menghadapi apa yang disebut banjir informasi atau tepatnya sekarang tsunami informasi (information tsunami). “Newbies” atau pendatang baru di dunia maya ini mengalami “culture shock” (goncangan budaya). Newbies pikir semua orang adalah sama seperti mereka ataupun lingkungan mereka hidup.
Pengguna internet di Indonesia  melihat etika dunia maya masih menjadi barang yang aneh.   Misalnya menulis dengan huruf besar semua, bagaimana tertawa yang sopan dengan tulisan, ataupun bagaimana menunjukkan kemarahan dan ketidaksetujuan dalam konteks dunia maya dengan emoticon-emoticonnya yang menarik.
Dunia maya adalah dunia baru.  Dunia yang mensyaratkan kita mampu hidup dalam etika-etika yang baru, dan hidup dalam budaya maya yang serupa tapi tidak sama dengan dunia asli kita.  Sebagai contoh, satu anak SMA di gunung kidul memberi komentar kepada sebuah artikel yang ditulis direktur perusahaan go public yang berkantor di jalan Sudirman.  Bisa dibayangkan diskusi yang seperti apa yang akan terjadi.   Lebih parah lagi kalau berdiskusi dengan akun yang kita tidak tahu siapa orang ini.  Maka cultural gap (jurang budaya) akan semakin besar dan kemungkinan untuk terjadinya benturan kebudayaan tidak bisa di hindari.
10 Tips berdiskusi secara online untuk menghindari benturan-benturan kebudayaan adalah sebagai berikut:
  1. Kenali dan pahami latar belakang rekan-rekan yang sedang berdiskusi.
  2. Pelakukan setiap rekan diskusi seperti ketika berdiskusi offline.
  3. Patuh dengan aturan moderator dari tempat diskusi (group, lapak, blog, dsb)
  4. Jangan melebar ke topik di luar topik diskusi.
  5. Tidak semua diskusi harus ada konklusi persamaan. Kalau akhirnya harus ada open ended discussion terima perbedaan dengan lapang dada.  Tahu kapan diskusi harus berakhir.
  6. Menghadapi lawan diskusi yang menghina dan menyerang pribadi, kita harus tenang. Karena justru ketenangan kita akan memperlihatkan kebodohan lawan diskusi.  (Cat: selama tidak di delete, kebodohan itu akan selalu tercatat sepanjang masa)
  7. Buka thread yang baru  apabila memang sudah cukup panjang sehingga kesulitan untuk melihat diskusi-diskusi yang berseliweran.
  8. Gunakan referensi yang secukupnya, jangan panjang-panjang. Karena kita tidak sedang menghadapi ujian skripsi.
  9. Pergunakan kata-kata yang sopan menurut budaya umum Indonesia atau bangsa di mana kita ikut berdiskusi.
  10. Apabila memang dibutuhkan alangkah baiknya ada kesimpulan-kesimpulan dalam open discussion ini.
Dalam segala pro dan konsnya, berdiskusi secara online dan mengeluarkan pendapat secara spontan sudah hadir dalam kehidupan kita sehari-hari.  Facebook, twitter, kompasiana, blog, forum hanyalah media. Media-media ini pada akhirnya hanya mampu mencerminkan siapa kita yang sebenarnya.  Setiap artikel, komentar, foto, video, ataupun suara yang kita upload akan menjadi jejak digital kita yang memperlihatkan karakter kita apa adanya.

sumber : http://media.kompasiana.com
Comments
0 Comments

0 komentar: